JAKARTA - mediaislamimedan.my.id | sabtu, 15 januari 2022 | Fahri Usulkan MPR Jadi Lembaga Adhoc, Apa Alasannya?
Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah. |
Selain mengusulkan penghapusan fraksi di DPR, Partai Gelombang Rakyat (Gelora) juga menginginkan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tidak dijadikan lembaga permanen, cukup adhoc saja.
“Sebab aneh MPR ini, dipakainya sekali lima tahun. Kan dia (MPR) dipakainya untuk melantik presiden dan wakil presiden, itu cuma sekali dalam lima tahun. Habis itu kalau ada amandemen (UUD 1945), ” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, dalam Gelora Talk bertajuk ‘Reformasi Sistem Politik, Mengapa Fraksi di DPR Sebaiknya Dihapus?’, Rabu (12/1/2022) petang.
Menurut Fahri, keberadaan MPR hanya diperlukan untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden RI, atau untuk melakukan amandemen konstitusi dan kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan.
“Jadi buat apa itu, kayak sekarang MPR-nya. Apalagi Pimpinan MPR-nya semua partai politik ada, semua dapat rumah dinas dan mobil dinas. Untuk apa? Buat sosialisasi empat pilar? Itu tugasnya eksekutif, bukan MPR,” katanya.
Fahri mengkritik fungsi MPR yang melakukan sosialisasi nilai-nilai kebangsaan dan Empat Pilar. Sosialisasi Empat Pilar, lanjutnya, merupakan peran dari eksekutif, sehingga MPR tidak perlu mengambil tugas tersebut.
“Untuk apa MPR melakukan sosialisasi, dia kan assembly, sosialisasi kan oleh eksekutif,” kata Fahri kembali menegaskan.
Karena itu, Fahri menilai MPR pun perlu dilakukan reformasi sistem secara menyeluruh. Sebab, MPR sebagai cerminan dari daulat rakyat juga telah dikangkangi oleh partai politik (parpol).
“Jadi banyaklah yang harus kita ubah kedepan, supaya kita betul-betul melakukan reformasi sistem politik kita agar jangan sampai daulat rakyat dikangkangi oleh partai politik. Itu bisa menjadi bencana,” tegasnya.
Fahri mengungkapkan, saat menjadi Ketua Tim Reformasi Parlemen dan Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 telah memberikan tujuh RUU kepada Ketua DPR saat itu, Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang kini menjadi Ketua MPR Periode 2019-2024, untuk dibahas lebih lanjut.
“Saya mengajukan tujuh RUU kepada Ketua DPR pada waktu itu, untuk diserahkan kepada DPR baru. Di antaranya pemisahan DPR dan DPD, UU Pemisahan DPR dan DPD dan termasuk saya mengusulkan agar MPR itu tidak menjadi lembaga permanen,” katanya.
Namun, tujuh RUU tersebut oleh DPR Periode 2019-2024, termasuk usulan agar MPR tidak menjadi lembaga permanen tidak ditindaklanjuti hingga sekarang.
“Jadi kalau tugasnya hanya untuk melantik presiden dan wakil presiden dan bertugas untuk mengamandemen UUD 1945, MPR tidak perlu menjadi lembaga permanen, karena peristiwa itu bukan peristiwa yang terus terjadi,” ujarnya.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengkritisi kinerja pimpinan dan anggota MPR. Ia mengkritisi gaji ketua dan anggota MPR yang dibayarkan tiap bulan, padahal rapatnya hanya tiga kali setahun.
Pasalnya, MPR sejak awal didesain hanya menjadi lembaga yang terbentuk saat ada sesi bertemu antara DPR dan DPD.
“MPR itu hanya terbentuk saat DPR dan DPD menjalankan tugas konstitusionalnya, sehingga tak perlu ada sistem penggajian tiap bulan,” katanya.
Hal itu membuat beberapa putusan MPR jadi dipertanyakan legitimasinya, apalagi jumlah kehadiran anggota legislatif yang kerap tak memenuhi kuota.
“Produk kebijakan jadi dipertanyakan legitimasi politiknya, walaupun secara legal formal sudah diketok,” tuturnya.
Fahri Hamzah menambahkan, usulan reformasi politik dilakukan Partai Gelora mencakup reformasi sistem kepemiluan hingga sistem ketatanegaraan termasuk menjadi MPR bukan lembaga permanen dan menghapus fraksi DPR.
Reformasi politik, tegasnya, merupakan bagian dari upaya memurnikan kembali demokrasi sehingga kedaulatan rakyat tidak terdistorsi oleh kekuatan lain, seperti partai politik.
“Jangan sampai kedaulatan rakyat dikangkangi oleh kedaulatan partai politik, itu sangat berbahaya kedepannya,” pungkas Fahri.